Tuesday, October 21, 2014

SENIMAN BUNGLON? BUNGLONISME?

7777777

Karya seni adalah ekspresi jiwa seniman.
Ada karya yang menampakkan dengan jelas jiwa sang seniman, ada pula karya yang tidak menampakkan jiwa sang seniman. 

Karena berbagai hal dan alasan, jiwa sang seniman bisa tertutupi dan gagal hadir dalam karyanya. Mengapa?

Seniman memang harus jujur sejujur-jujurnya dalam berkarya. Dia harus berpegang teguh pada nilai-nilai yang dianut dan diyakininya, bukan saja sebagai seniman, tapi juga sebagai manusia, sebagai individu yang beragama jika ia beragama.

Apa kata jiwanya, itulah yang seharusnya tampil dalam karyanya. Semakin kuat kehadiran ekspresi jiwanya dalam karyanya, semakin kuat dan unik pula karyanya tersebut. 


Tiap-tiap jiwa unik. Dan keunikan karya dalam seni sangat dipuji. Semakin unik karya seniman semakin baik.
Karena itu, seorang seniman haruslah jujur pada dirinya, pada jiwanya, pada ekspresinya sendiri, pada keunikannya.


Seorang seniman seharusnyalah konsisten dalam keseniannya. Dia harus tetap menjadi dirinya, supaya dalam karyanya jiwanya tidak tertutupi.


Tuntutan pasar, tekanan dari kawan-kawan, godaan uang dan ketenaran, dan keinginan disebut sebagai seniman kontemporer, misalnya, dapat mengombang-ambingkan jiwa seniman. 

Seniman yang jiwanya mudah goyah, mudah pula mengubah kulit luar karyanya, sesuai "permintaan" dari luar jiwanya. Dia berhenti menjadi seniman jujur. Dia berhenti menjadi seniman yang konsisten.
Bagaikan kulit Bunglon, penampilan karya seniman itu berubah-ubah sesuai dengan "permintaan" tadi, dan MENGINGKARI tuntutan ekspresi jiwanya. 

Pada saat seperti itu, seniman tersebut dapatlah saya sebut sebagai seniman Bunglon. Dan jika hal itu terus-menerus dilakukannya dalam rentang waktu yang lama - karena berbagai alasan yang saya sebutkan di muka - maka bolehlah pula saya sebut aliran yang dianut seniman tersebut adalah aliran Bunglonisme. :)

*


ydb, washington dc, 22.10.2014
salam damai dan kasih untukmu semesta
jaga bara!

7777777

No comments:

Post a Comment